Tutup

Layanan

Situs Lainnya

Pertiba Startup & Network

Fiskal Daerah yang Kepayahan: Saatnya Belanja Tidak Lagi Demi Pencitraan

Fiskal Daerah yang Kepayahan: Saatnya Belanja Tidak Lagi Demi Pencitraan
Eddy Supriadi – Akademisi Universitas Pertiba

Oleh Eddy Supriadi Akademisi Universitas Pertiba – Uniper

Di banyak daerah, terutama di tingkat kabupaten dan kota, kondisi fiskal kini seperti orang tua yang terus dipaksa berlari. Napasnya terengah, tapi beban di pundaknya makin berat. Belanja pegawai yang menembus di atas 50% dari total APBD menjadi potret klasik yang terus diulang setiap tahun. Bukan karena daerah miskin gagasan, tapi karena terlalu banyak energi habis untuk mempertahankan “struktur” daripada membangun “kinerja”.


Belanja Tak Lagi Produktif

Secara ekonomi publik, ketika lebih dari separuh anggaran daerah habis untuk membayar gaji, tunjangan, dan honor pegawai, maka ruang fiskal pembangunan menjadi sempit. Tidak ada lagi ruang untuk inovasi, investasi publik, atau pemberdayaan masyarakat. Belanja modal pun akhirnya menjadi korban. Padahal, teori ekonomi fiskal menekankan bahwa alokasi belanja yang produktif adalah belanja yang menambah nilai ekonomi jangka panjang — bukan sekadar menjaga kenyamanan birokrasi. Sudah saatnya kepala daerah berani memotong pos-pos yang tidak relevan, menghapus kegiatan seremonial, serta memprioritaskan hasil, bukan penampilan.


Saatnya Mengubah Pola Pikir

Secara akademis, tata kelola keuangan daerah kini harus berpindah dari paradigma administrative government menuju performance-based governance. Dalam konsep New Public Management (NPM), efektivitas dan efisiensi adalah ukuran keberhasilan birokrasi, bukan sekadar banyaknya kegiatan yang dilaksanakan. Daerah perlu berani menerapkan prinsip smart budgeting — setiap rupiah harus punya logika manfaat dan hasil yang terukur. Bukan karena “perintah pusat”, tapi karena itu bagian dari tanggung jawab moral dan intelektual sebagai pengelola publik.


Bangun Ekosistem Digital

Era digital memberi peluang besar untuk melakukan efisiensi fiskal. Dengan membangun ekosistem teknologi informasi yang terintegrasi, pemerintah daerah bisa memangkas biaya operasional, mempercepat layanan, dan meningkatkan transparansi. Sistem keuangan, perizinan, dan pengawasan berbasis digital adalah jalan menuju good governance yang modern. Namun sering kali, yang terjadi justru sebaliknya: teknologi hanya dijadikan pajangan proyek, bukan instrumen transformasi. Padahal, digitalisasi bukan proyek, melainkan ekosistem berpikir — cara baru untuk bekerja, mengawasi, dan Kewajiban dan Akuntabilitas

Secara hukum, UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan PP No. 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah sudah menegaskan pentingnya prinsip efisiensi, efektivitas, dan akuntabilitas. Namun, penegakan prinsip tersebut sering kalah oleh budaya politis yang masih kuat. Banyak program disusun bukan karena kebutuhan publik, melainkan karena kebutuhan politik: memperkuat citra kepala daerah atau menjaga dukungan birokrasi. Inilah paradoks yuridis kita — regulasi sudah maju, tapi implementasi masih mundur karena kepentingan pencitraan.


Masyarakat Sebagai Korban dan Penonton

Ketika belanja publik tidak efektif, masyarakat menjadi pihak yang paling dirugikan. Jalan rusak tetap rusak, layanan publik tetap lamban, dan kemiskinan tetap bertahan. Padahal, tujuan desentralisasi adalah agar pemerintah daerah lebih dekat dengan rakyat. Sayangnya, yang dekat justru kepentingannya — bukan kepeduliannya. Dalam konteks ini, masyarakat perlu ikut mengawasi arah belanja daerah. Transparansi bukan hanya untuk auditor, tapi juga untuk warga yang membayar pajak.


Kembali ke Hakikat Pelayanan

Secara filosofis, pemerintahan adalah bentuk pengabdian, bukan ajang pencitraan. Kepala daerah yang terus menuntut bantuan dari pusat tanpa menggali potensi daerahnya sendiri sedang kehilangan makna kemandirian. Kemandirian fiskal bukan sekadar angka PAD, tetapi soal dignity — martabat daerah yang mampu berdiri di atas kakinya sendiri. Dengan teknologi, kreativitas, dan tata kelola yang sehat, daerah bisa menciptakan sumber-sumber pendapatan baru: dari digitalisasi pajak lokal, optimalisasi aset, hingga kemitraan publik-swasta yang transparan.


Penutup: Dari Belanja Seremonial ke Belanja Substansial

Pemerintah daerah tidak boleh lagi menjadikan APBD sebagai alat politik pencitraan. Setiap rupiah publik harus membawa nilai manfaat yang jelas, baik secara ekonomi maupun sosial. Sudah saatnya kepala daerah berhenti membangun “monumen citra” dan mulai membangun “ekosistem kerja”. Karena pada akhirnya, rakyat tidak butuh baliho besar — mereka butuh jalan yang bagus, air yang mengalir, dan birokrasi yang hadir tanpa pamrih.