Tutup

Layanan

Situs Lainnya

Pertiba Startup & Network

Polemik Penggunaan Artificial Intelligence (AI) di Lingkungan Akademisi

Polemik Penggunaan Artificial Intelligence (AI) di Lingkungan Akademisi
Fithriawan Nugroho, S.T., M.M., MCE. Dosen Fakultas Sains Dan Informatika Universitas Pertiba

Perkembangan peradaban digital telah membawa Artificial Intelligence (AI) ke gerbang akademik dengan cara yang mengundang perdebatan mendalam. Di tengah hiruk-pikuk transformasi teknologi ini, institusi pendidikan tinggi seperti Universitas Pertiba berada di persimpangan antara memanfaatkan inovasi dan mempertahankan integritas akademik.

Tragedi Intelektual di Era Digital

Saya mengamati bahwa Universitas Pertiba baru-baru ini menyuarakan keprihatinan yang mendalam melalui artikel berjudul “Di Balik Ledakan Tulisan AI Tragedi Intelektual Abad Digital” yang terbit pada 9 Oktober 2025. Artikel ini mengungkap fenomena yang mengkhawatirkan, maraknya tulisan opini di media online yang tampak akademis namun sesungguhnya hanyalah hasil salinan dari AI tanpa riset nyata, pengalaman lapangan, atau data yang dapat dipertanggungjawabkan.​

Keprihatinan Universitas Pertiba ini mencerminkan dilema universal yang saya yakini dihadapi institusi pendidikan tinggi. Ketika teknologi AI seperti ChatGPT, Gemini, atau Copilot dapat menghasilkan tulisan yang tampak rapi dengan kesimpulan moral yang menggugah dalam hitungan menit, muncul pertanyaan fundamental tentang esensi pembelajaran dan penciptaan pengetahuan.​

Dampak Sistemik terhadap Ekosistem Akademik

Dalam pandangan saya, penggunaan AI yang tidak terkontrol telah menghadirkan ancaman serius terhadap standar intelektual akademik. Mahasiswa mengalami ketergantungan berlebihan yang berujung pada penurunan kemampuan berpikir kritis. Penelitian yang saya telaah menunjukkan bahwa mahasiswa menjadi terlalu bergantung pada AI hingga kemampuan menulis, membaca kritis, dan menganalisis teks akademik melemah secara bertahap.​

Fenomena “sistem kebut semalam” (SKS) yang saya amati kini semakin mengakar karena AI memberikan solusi instan tanpa proses pembelajaran yang mendalam. Mahasiswa lebih fokus pada penyelesaian tugas daripada pemahaman materi, menciptakan budaya “yang penting siap” yang menggerus esensi pendidikan tinggi.​

Saya melihat bahwa AI cenderung menghasilkan konten yang repetitif dan tidak mendorong mahasiswa untuk berpikir out of the box. Penggunaan berlebihan dapat mengurangi kreativitas karena mahasiswa terlalu bergantung pada informasi detail yang disediakan AI tanpa mencari sumber alternatif. Dampaknya, generasi akademisi masa depan berpotensi kehilangan kemampuan inovasi yang menjadi tulang punggung kemajuan ilmu pengetahuan.

Krisis Integritas Akademik

Salah satu tantangan terbesar yang saya identifikasi adalah praktik plagiarisme terselubung, di mana mahasiswa menggunakan AI untuk menghasilkan karya yang seolah-olah orisinal padahal merupakan hasil kompilasi atau parafrase otomatis dari sumber lain. Universitas Gadjah Mada melalui dosennya, Dina W. Kariodimedjo, menegaskan bahwa data dari ChatGPT banyak mengcopy karya orang lain dan berpotensi melahirkan plagiarisme,

Kasus dramatis yang saya catat terjadi di Texas A&M University-Commerce ketika seorang profesor menggunakan ChatGPT untuk mendeteksi plagiarisme namun malah salah mengidentifikasi semua tugas mahasiswa sebagai hasil AI, menyebabkan ijazah satu kelas ditahan. Insiden ini menunjukkan kompleksitas permasalahan deteksi dan penilaian karya akademik di era AI.​

Penggunaan AI yang saya amati menciptakan ketidakadilan dalam pembelajaran karena tidak semua mahasiswa memiliki akses dan literasi digital yang setara. Mahasiswa dari daerah terpencil atau ekonomi lemah kesulitan mengakses perangkat AI yang membutuhkan koneksi internet stabil dan pengetahuan teknis khusus. Hal ini memperlebar kesenjangan kualitas pendidikan dan menciptakan disparitas yang tidak adil dalam pencapaian akademik.

Respons Kebijakan Institusional

Saya mencatat bahwa Universitas Indonesia (UI) telah mengambil langkah proaktif dengan menerbitkan Peraturan Rektor Nomor 16 Tahun 2025 tentang Generative AI dalam Penulisan Ilmiah. Kebijakan ini mengatur penggunaan AI secara etis dan bertanggung jawab, dengan penekanan pada transparansi dan akuntabilitas dalam pemanfaatan teknologi.​

FEB UI bahkan telah meluncurkan kebijakan komprehensif melalui Center for Education and Learning in Economics and Business (CELEB). Mereka menekankan pentingnya sivitas akademika dapat memanfaatkan AI secara etis dan bertanggung jawab, sambil tetap mempertahankan kemampuan berpikir kritis.​

Saya mengapresiasi bahwa Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi telah menerbitkan “Panduan Penggunaan Generative Artificial Intelligence pada Pembelajaran di Perguruan Tinggi”. Panduan ini mencakup empat bidang etika, yaitu integritas akademik, keamanan dan keselamatan, kesetaraan dan transparansi, serta dampak lingkungan.​

Panduan tersebut memberikan arahan konkret bagi mahasiswa dan dosen, termasuk kewajiban menulis ulang hasil AI dengan bahasa sendiri, mempertahankan gaya tulisan personal, dan memastikan sitasi yang benar. Bagi dosen, panduan ini menekankan pentingnya meminta mahasiswa menggambarkan cara mereka menggunakan AI dan mengevaluasi hasil output secara kritis.

Dimensi Etika dan Masa Depan

Saya berpendapat bahwa implementasi AI dalam pendidikan tinggi memerlukan pertimbangan etika yang komprehensif. Perguruan tinggi harus memastikan transparansi dalam penggunaan AI, keamanan data mahasiswa, dan pengembangan keterampilan yang tidak menggantikan kemampuan manusia. Diperlukan kebijakan yang jelas tentang penggunaan data, akuntabilitas, dan pengawasan efektif untuk mencegah penyalahgunaan.​

Dalam visi saya, masa depan pendidikan tinggi menuntut kurikulum yang dinamis dan interdisipliner. AI tidak hanya relevan bagi mahasiswa teknik komputer, tetapi juga bagi berbagai disiplin ilmu lainnya. Perguruan tinggi harus mengintegrasikan pengetahuan AI ke dalam kurikulum sambil memastikan mahasiswa memahami aspek etika dan implementasi bisnis teknologi ini.​

Rekomendasi Strategis

Pertama, saya merekomendasikan perguruan tinggi untuk mengembangkan kebijakan AI yang komprehensif dan terukur, dengan panduan yang jelas tentang penggunaan yang diizinkan dan dilarang. Kedua, implementasi program literasi AI untuk seluruh sivitas akademika agar dapat memanfaatkan teknologi secara bijak dan etis.

Kemudian saya menyarankan mahasiswa harus dilatih untuk menggunakan AI sebagai alat bantu, bukan pengganti proses berpikir kritis. Mereka perlu mengembangkan kemampuan untuk memverifikasi, mengkritisi, dan mengedit hasil AI. Dosen perlu memberikan ekspektasi yang jelas dalam setiap tugas dan mendorong transparansi dalam penggunaan AI.​

Dalam pandangan saya, diperlukan regulasi nasional yang mengatur penggunaan AI dalam pendidikan, termasuk standar etika, perlindungan data, dan mekanisme pengawasan. Investasi dalam infrastruktur teknologi dan program pelatihan untuk mendukung adopsi AI yang bertanggung jawab juga menjadi kebutuhan mendesak.

Saya mengajak seluruh sivitas akademika (mahasiswa, dosen, dan peneliti) untuk bijak dan bertanggung jawab dalam menggunakan AI. Teknologi ini bukan pengganti kecerdasan manusia, melainkan mitra dalam memperluas wawasan dan mempercepat proses eksplorasi ilmu.

Gunakan AI sebagai alat bantu, bukan sumber utama kebenaran. Jadikan setiap hasil yang dihasilkan AI sebagai bahan refleksi, bukan hasil akhir. Setiap tulisan, ide, dan riset harus tetap mencerminkan karakter berpikir, nilai etika, dan integritas pribadi. Sebab, kecerdasan sejati bukan terletak pada mesin, melainkan pada manusia yang mampu menggunakannya dengan bijak.

Penutup

Sebagai pengamat perkembangan teknologi dalam pendidikan, saya meyakini bahwa tantangan penggunaan AI di lingkungan akademik memerlukan respons yang seimbang antara inovasi dan integritas. Universitas Pertiba, sebagai bagian dari ekosistem pendidikan tinggi Indonesia, memiliki peran penting dalam membentuk masa depan pembelajaran yang etis dan berkualitas.

Solusi tidak terletak pada penolakan teknologi, melainkan pada pemanfaatan yang bijak dan bertanggung jawab. Dengan kerja sama antara institusi pendidikan, pemerintah, dan sivitas akademika, kita dapat menciptakan ekosistem pendidikan yang memanfaatkan AI untuk meningkatkan kualitas pembelajaran tanpa mengorbankan nilai-nilai fundamental pendidikan tinggi.

 

Artikel ini merupakan opini pribadi penulis berdasarkan riset dan analisis terhadap perkembangan terkini penggunaan AI dalam lingkungan akademik.